Pada tahun yang sama, 31 Maret, Raja Ferdinand dan Ratu
Isabella mengeluarkan Edict of Expulsion atau perintah pengusiran bagi warga
Yahudi.Warga Yahudi diberi dua pilihan, dibaptis menjadi Kristen atau diusir
keluar dari Andalusia. Negeri ini, selama berpuluh tahun telah menjadi surga
dunia untuk warga Yahudi. Karena di bawah pemerintahan Islam, hidup mereka
terjamin dan peradaban mereka berkembang, mereka dilindungi dan diberi
kesempatan untuk menjalankan apa yang mereka yakini oleh pemerintahan Muslim
Andalusia. Setelah keluarnya Edict of Expulsion, ada banyak Yahudi yang masuk
Kristen dengan cara terpaksa. Sebanyak 80.000 orang Yahudi melarikan diri ke
Portugal dan 50.000 lagi mencari suaka di wilayah baru Islam, Khalifah Utsmani
di Turki.
Di Turki, mereka disambut dengan baik dan mendapat perlindungan dari
pemerintahan Muslim. Tapi di Andalusia, mereka diburu untuk dibunuh.
Untuk menggambarkan betapa beratnya pembantaian yang dialami kaum Yahudi saat
itu, ada angka yang bisa ditelusuri. Pada tahun 1483 saja, di wilayah ini
menurut laporan Komandan Inkusisi Spanyol, Fray Thomas de Torquemada, telah
terbunuh sebanyak 13.000 kaum Yahudi di Spanyol. Setelah itu selama puluhan
tahun, Yahudi dikejar-kejar dengan rasa penuh ketakutan. Puncak dari masa
kegelapan itu jatuh pada tahun 1492, saat The Chatolic Kings memberikan pilihan
sulit untuk kaum Yahudi. Dibaptis paksa atau pergi meninggalkan Eropa. Pilihan
terakhirlah yang diambil, hanya dalam hitungan bulan saja, sejak April hingga
Agustus 1492, sebanyak 150.000 warga Yahudi yang meninggalkan Spanyol. Dan
salah satu tujuan utama mereka adalah wilayah Khilafah Utsmani yang bersedia
memberikan perlindungan
Tapi yang menarik adalah, semua peristiwa pembantaian yang menimpa umat Islam
dan kaum Yahudi akibat kebijakan-kebijakan yang muncul setelah dua pemimpin
Katholik, Raja Ferdinand dan Ratu Isabella. Pernikahan Raja Ferdinand dan Ratu
Isabella sebetulnya dirancang dan diatur oleh seorang Yahudi bernama Abraham
Senior dari Segovia.
Abraham Senior sangat berpengaruh dalam seluruh kebijakan Ratu Isabella. Karena
keberhasilan yang ia dapat atas nasihat dan saran politik dari Abraham Senior,
sebagai rasa terima kasih Ratu Isabella memberikan jabatan Kepala Penarikan
Pajak kepada Abraham Senior. Bahkan kerajaan atas keputusan Ratu Isabella
menganugerahkan gelar Rabbi de la Corte atau Rabbi Kerajaan.
Dulu, ketika menyeberang Selat Gibraltar, pasukan yang dipimpin Tariq bin Ziyad
masuk dengan gagah berani dan kepala yang tegak menantang. Di bakarnya
kapal-kapal agar pasukan tak memikirkan cara untuk pulang. Kalah bukan pilihan.
Maju terus dan meraih kemenangan.
Tariq bin Ziyad masuk ke wilayah ini dengan membawa tentara sebesar 7.000
pasukan. Sebagian besar pasukan ini adalah bangsa Barbar, sangat sedikit
pasukan keturunan Arab, kurang lebih ada 300 orang dan ada sekitar 700 Muslim
kulit hitam yang bergabung dari benua Afrika. Ketika mendarat di negeri
Andalusia, Tariq bin Ziyad memerintahkan pasukannya untuk membakar dan
memusnahkan kapal mereka. Hal ini menunjukkan tekad Tariq yang tak akan kembali
ke negeri asal. Baginya tidak ada pilihan, kecuali menang.
Bulan Rajab tahun 92 H atau 30 April 711 M, pasukan Muslimin berangkat dari
Ceuta. Mereka mendarat di gunung batu bernama, Mount Calpe. Tempat ini kelak
lebih dikenal dengan sebutan Jabal al-Fatah oleh kaum Muslimin yang berarti
gunung kemenangan. Tapi secara internasional, gunung ini dikenal sebagai Jabal
Tariq atau lebih disebut dengan Gibraltar. Kemudian, pasukan diberangkatkan ke
Andalusia.
Saat berada di atas kapal dalam perjalanan antara Ceuta dan Gibraltar, Tariq
tertidur. Di dalam tidurnya itu ia bermimpi melihat Rasulullah Saw beserta para
Sahabat Muhajirin dan Anshar. Mereka semua memegang pedang dan menyandang busur
panah. Ia mendengar Nabi Saw berkata kepadanya, ”Kuatkan dirimu wahai Tariq!
Tuntaskan apa yang menjadi misimu sekarang ini.” Kemudian ia melihat Rasulullah
saw dan para sahabatnya pergi memasuki Andalusia.
Kota yang ditaklukkan pertama kali adalah Cartagena. Setelah itu, kota-kota
lain segera menyusul dengan kekalahan bangsa Visigoth. Dan inilah cikal bakal
peradaban Islam di Eropa yang kelak sangat mewarnai kebangkitan beradaban
Barat. Kelak peradaban Islam yang diretas oleh Tariq bin Ziyad ini melahirkan
orang-orang seperti Ibnu Rushd atau yang dikenal Barat dengan nama Averoes
(1126-1198). Filsuf yang sangat mempengaruhi perkembangan pemikiran dunia
Barat. Juga lahir tokoh seperti Az Zahrawi yang lahir di Cordoba dan ia sangat
dikenal sebagai manusia pertama yang memperkenalkan teknik operasi bedah.
Ensiklopedi tentang teknik pembedahan menjadi rujukan dunia kedokteran di
Barat. Ada pula Az Zarkalli, astronom Muslim yang memperkenalkan pengetahuan astrolobe,
sebuah instrumen yang digunakan untuk mengukur jarak sebuah bintang dari
horizon bumi yang dijadikan navigasi dalam transportasi laut.
Bahkan, Ajip Rosidi, sastrawan Indonesia dalam kata pengantarnya pada buku M.
Natsir Kebudayaan Islam dalam Perspektif Sejarah dengan jernih mengatakan,
“Peradaban Yunani pun mungkin akan tenggelam kalau saja tidak diselamatkan
melalui penerjemahan ke dalam bahasa Arab oleh sarjana-sarjana Islam di bawah
para khalifah yang sangat mendorong kemajuan ilmu, karena pada dasarnya
Islam memang tidak menghalangi kemajuan ilmu, melainkan mendorongnya tanpa
batas. Bahkan juga para sarjana Barat mendapat kesempatan yang sama dalam
istana-istana para khalifah di Baghdad dalam usaha memperkembangkan ilmunya
dengan para sarjana Islam sendiri.”
Barat, Eropa khususnya, tanpa sentuhan peradaban Islam, mungkin akan lain
ceritanya dan tidak seperti sekarang. Sejarawan Barat, Charles Singer dalam
bukunya Short History of Medicine memberikan gambaran betapa dunia kedokteran
di Barat pada abad pertengahan sangat kacau dan terbelakang.
“Anatomy and physiology perished. Prognosis was reduced to an absurd rule of
thumb. Botany became a drug list. Superstitius practices crept in, and Medicine
deteriorated into collection of formulae, punctuated by incantations. The
scientific stream, which is its lifeblood, was dried up at its source.” (Ilmu
anatomi dan fisiologi (di Barat) telah hancur. Diagnosa satu penyakit
ditentukan dengan bermacam-macam cara dan terkaan dengan melihat jempol. Ilmu
tumbuh-tumbuhan hanya tinggal kerangka. Praktik tahayul telah menyelinap
dimana-mana. Derajat ilmu kedokteran telah turun, dan menjadi hanya seperti
kumpulan mantera, juga sihir. Ilmu pengetahuan yang menjadi darah dan nyawa
(bagi ilmu kedokteran) telah kering dari sumbernya.)
M. Natsir dalam makalahnya yang berjudul Eropa dalam Abad Pertengahan. Pada
periode tertentu, Barat adalah peradaban yang dibangun dengan cara menerjemah
ilmu-ilmu yang telah diabadikan oleh ulama dan ilmuwan Islam dari berbagai
sumber. M. Natsir menyebutnya sebagai Zaman Terjemahan:
“Sebagaimana Baghdad dalam abad ke-8 M, begitu pula Toledo pada abad ke-12 M.
Sebagaimana dulu Khalifah al Ma’mun mendirikan satu Baitul Hikmah, sebuah badan
ulama-ulama (dewan ulama) dengan al Hujaj bin Mathar, Ibnu Bathriq dan
lain-lain, untuk menterjemahkan segala maca ilmu dari Persia, India, Suria dan
Yunani ke dalam bahasa Arab. Begitu pula Arcibishop Raymond menanam satu badan
penyalin di bawah badan Artsdeken Dominicus Gundisalvus, untuk menerjemahkan bermacam-macam
ilmu yang telah dikumpulkan oleh pujangga-pujangga Muslimin dari bahasa Arab ke
bahasa Latin.
Dahulu, Hunain ibnu Ishaq yang mengumpulkan dan menyalin ilmu-ilmu falsafah,
hisab dan ilmu alam ke bahasa Arab, maka sekarang Gerard van Cremona yang
mengumpulkan pusaka Hunain, dan menyalin hampir semua ke bahasa Latin.
Pun dari kalangan Yunani banyak ulama-ulama yang cakap berbahasa Arab dan
Latin, sangat berjasa dalam zaman terjemah ini. Salah satu dari mereka adalah
Faraj ibnu Salim (atau Ferragut van Girgenti) yang telah menerjemahkan buku al
Hawi dari Abu Bakar Razi dengan nama Liber Continens. Pekerjaan ini ialah
memakan waktu tak kurang dari seperdua dari umur manusia yang biasa. Gerard van
Cremona (1114) berjumpa di Toledo buku Ptolomeus yang bernama al Magest dalam
bahasa Arab terjemahan dari Yahya bin Khalid al Barmaki. Itulah yang
diterjemahkan ke bahasa Latin (tahun 1173) dan menjadi pokok dari
terjemahan-terjemahan ke bahasa-bahasa di Eropa Barat.
Buku-buku ilmu kedokteran Yunani dari Hipocrates dan Galen diterjemahkan Gerard
van Cremona dari terjemahan Hunain bin Ishaq. Selainnya dari itu kitab-kitab
dari al Kindi, Ibn Sina, al Farabi, Abu Qais dan lain-lain. Setelah Gerard van
Cremona meninggal dunia dalam tahun 1187 M, tidak kurang dari 70-80 buku yang
telah diterjemahkannya dari bahara Arab ke bahasa Latin sehingga (ia) mendapat
gelaran Fathers of Arabism di Eropa.
Tapi setelah 800 tahun Islam berkuasa di Andalusia, Sultan Muhammad XII harus
menyeberangi Selat Gibraltar dengan kepala tertunduk dan dada yang
ditikam-tikam kesedihan.
Kerajaan menjadi neraka sebelum neraka yang sesungguhnya. Saling berebut tahta
menjadi agenda paling besar para pembesar. Dan hal ini dimanfaatkan dengan
cerdik oleh musuh-musuh yang menghendaki khilafah Islam Andalusia bubar. Dan
ketika pasukan Isabella dan Ferdinand datang menyerang, mengepung selama tujuh
bulan, pembunuhan besar-besaran dilakukan, perlawanan hebat juga telah
diberikan, tapi apa mau dikata, tubuh kepemimpinan umat sudah rapuh akibat
saling seteru.
Dan ketika Islam dan kaum Muslimin dikalahkan, yang menjadi korban tak hanya
manusia, tapi seluruh sisi peradaban. Seorang Kardinal memerintahkan pasukannya
Spanyol mengumpulkan seluruh buku-buku tentang Islam dan semua yang berbau Arab
untuk dibakar. Tidak saja yang terdapat dalam perpustakaan resmi milik
pemerintahan, tapi juga milik pribadi yang tersebar di rumah-rumah. Jumlahnya
diperkirakan lebih dari satu juta. Dikumpulkan di tengah lapangan kota Granada
dan dimusnahkan dengan cara dibakar dengan diiringi upacara agama. Memusnahkan
ilmu pengetahuan Islam, seperti menjadi bagian dari amal ibadah.
Seorang penyair Spanyol menuliskan puisi tentang detik-detik terakhir kepergian
Sultan menuju tanah pengasingan:
tuvieron que abandonar muy a su pesar
los fastuosos salones y majestuosos jardines
de los palacios de la Alhambra
donde tanto goce terrenal habían disfrutado
durante varias bienaventuradas generaciones
raja harus pergi
meninggalkan dengan enggan
aula istana Alhambra yang megah dan taman-taman yang indah
di mana kenikmatan duniawi
telah diberkati berbilang generasi
Los débiles rayos del crepúsculo,
procedentes del sol poniente
tras el horizonte que forman las colinas de Loja
apenas permitían discernir
detalles del paraíso perdido
samar-sama senja sirna
dan matahari terbenam jua
cakrawala membentuk perbukitan Loja
raja hanya boleh menyaksikan
rincian surga yang mulai menghilang
Entah berapa kali sejarah sudah berulang dan mengajarkan tentang candu
kekuasaan dan bahaya keserakahan. Jika keduanya bertemu dan bersatu, keburukan
besar tak hanya akan menimpa individu. Tapi gelombang panjang kerusakan, akan
terjadi menimpa semua lini kehidupan. Mudah-mudahan kita mampu belajar dan tak
mengulang sejarah keburukan.
Kisah inspirasi ini ditulis oleh Ustadz Herry
Nurdi yang ditulis oleh beliau dalam situsnya yang luar biasa, penerang.com
Kisah dan foto diambil dari situs
http://penerang.com/2010/12/14/puerto-del-suspiro-del-moro-revisi/