Apakah boleh
umat Islam turut memperingati hari ibu?
Hari Ibu
adalah hari peringatan atau perayaan terhadap peran seorang ibu dalam
keluarganya, baik untuk suami, anak-anak, maupun lingkungan sosialnya.
Peringatan
dan perayaan biasanya dilakukan dengan membebastugaskankan ibu dari tugas
domestik yang sehari-hari diang`gap merupakan kewajibannya, seperti memasak,
merawat anak, dan urusan rumah tangga lainnya. Di Indonesia hari Ibu dirayakan
pada tanggal 22 Desember dan ditetapkan sebagai perayaan nasional.
Berbakti
pada Ibu Lebih Utama
Dari Abu
Hurairah radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata,
جَاءَ
رَجُلٌ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ
مَنْ أَحَقُّ بِحُسْنِ صَحَابَتِى قَالَ « أُمُّكَ » . قَالَ ثُمَّ مَنْ قَالَ « أُمُّكَ
» . قَالَ ثُمَّ مَنْ قَالَ « أُمُّكَ » . قَالَ ثُمَّ مَنْ قَالَ « ثُمَّ أَبُوكَ »
“Seorang pria pernah mendatangi
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu berkata, ‘Siapa dari kerabatku
yang paling berhak aku berbuat baik?’ Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam
mengatakan, ‘Ibumu’. Dia berkata lagi, ‘Kemudian siapa lagi?’ Beliau
shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, ‘Ibumu.’ Dia berkata lagi, ‘Kemudian
siapa lagi?’ Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, ‘Ibumu’. Dia
berkata lagi, ‘Kemudian siapa lagi?’ Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam
mengatakan, ‘Ayahmu’.” (HR. Bukhari no. 5971 dan Muslim no. 2548).
Imam Nawawi
rahimahullah mengatakan, “Dalam hadits ini terdapat dorongan untuk berbuat baik
kepada kerabat dan ibu lebih utama dalam hal ini, kemudian setelah itu adalah
ayah, kemudian setelah itu adalah anggota kerabat yang lainnya. Para ulama
mengatakan bahwa ibu lebih diutamakan karena keletihan yang dia alami, curahan
perhatiannya pada anak-anaknya, dan pengabdiannya. Terutama lagi ketika dia
hamil, melahirkan (proses bersalin), ketika menyusui, dan juga tatkala mendidik
anak-anaknya sampai dewasa” (Syarh Muslim, 8: 331).
Berbakti
pada Ibu itu Setiap Waktu, Bukan Setahun Sekali
Allah Ta’ala
berfirman,
وَوَصَّيْنَا
الْإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْنًا عَلَى وَهْنٍ وَفِصَالُهُ فِي
عَامَيْنِ أَنِ اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ إِلَيَّ الْمَصِيرُ
“Dan Kami perintahkan kepada manusia
(berbuat baik) kepada dua orang ibu- bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam
keadaan lemah yang bertambah- tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun.
Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah
kembalimu” (QS. Lukman: 14). Perintah berbakti di sini bukan hanya berlaku pada
bulan Desember saja, namun setiap waktu.
Sebab
Larangan Memperingati Hari Ibu bagi Muslim
1- Tasyabbuh
dengan orang kafir
Peringatan
hari ibu bukanlah perayaan umat Islam. Islam tidak pernah mengajarkannya sama
sekali. Yang ada, perayaan tersebut diperingati hanya meniru-niru orang kafir.
Islam hanya memiliki dua hari besar. Anas bin Malik mengatakan,
كَانَ
لِأَهْلِ الْجَاهِلِيَّةِ يَوْمَانِ فِي كُلِّ سَنَةٍ يَلْعَبُونَ فِيهِمَا فَلَمَّا
قَدِمَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمَدِينَةَ قَالَ كَانَ لَكُمْ
يَوْمَانِ تَلْعَبُونَ فِيهِمَا وَقَدْ أَبْدَلَكُمْ اللَّهُ بِهِمَا خَيْرًا مِنْهُمَا
يَوْمَ الْفِطْرِ وَيَوْمَ الْأَضْحَى
“Orang-orang Jahiliyah dahulu memiliki
dua hari (hari Nairuz dan Mihrojan) di setiap tahun yang mereka senang-senang
ketika itu. Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tiba di Madinah, beliau
mengatakan, ‘Dulu kalian memiliki dua hari untuk senang-senang di dalamnya.
Sekarang Allah telah menggantikan bagi kalian dua hari yang lebih baik yaitu
hari Idul Fithri dan Idul Adha.’” (HR. An Nasa’i no. 1557. Al Hafizh Abu Thohir
mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih. Hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Al
Albani).
Dari Ibnu
‘Umar, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ
تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
“Barangsiapa yang menyerupai suatu
kaum, maka ia termasuk bagian dari mereka.“(HR. Abu Daud no. 4031. Hadits ini
hasan shahih kata Syaikh Al Albani).
Ada hadits
juga dalam kitab Sunan,
لَيْسَ
مِنَّا مَنْ تَشَبَّهَ بِغَيْرِنَا لاَ تَشَبَّهُوا بِالْيَهُودِ وَلاَ بِالنَّصَارَى
“Bukan termasuk golongan kami yaitu
siapa saja yang menyerupai (meniru-niru) kelakukan selain kami. Janganlah
kalian meniru-niru Yahudi, begitu pula Nashrani.” (HR. Tirmidzi no. 2695, hasan
menurut Syaikh Al Albani).
2- Tidak
pernah dituntunkan dalam ajaran Islam
Perayaan
tersebut adalah perayaan yang mengada-ngada, tidak pernah dituntunkan oleh
Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya. Mereka adalah
orang-orang terbaik di masa salaf, namun tidak pernah memperingati hari
tersebut. Jadi, peringatan tersebut bukan ajaran Islam.
Syaikh
Musthofa Al ‘Adawi, ulama besar dari Mesir pernah ditanya mengenai hukum
perayaan hari Ibu. Beliau hafizhohullah menjawab, “Tidak ada dalam syari’at
kita peringatan hari Ibu. Namun kita memang diperintahkan untuk berbakti kepada
kedua orang tua kita. Dan ibu lebih utama untuk kita berbakti. Sebagaimana Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya siapakah yang lebih utama bagi kita untuk
berbuat baik. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, ibumu sebanyak tiga kali,
lalu bapakmu.” (Youtube: Hukmul Ihtifal bi ‘Iedil Umm)
Guru kami,
Syaikh ‘Abdul ‘Aziz Ath Thorifi hafizhohullah berkata, “Perayaan hari Ibu
adalah perayaan dari barat. Mereka orang-orang kafir di sana punya perayaan
hari ibu, juga ada peringatan hari anak. Kita -selaku umat Islam- tidak butuh
pada peringatan hari Ibu karena Allah Ta’ala sudah memerintahkan kita untuk
berbakti pada ibu kita dengan perintah yang mulia. Begitu pula Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam pernah ditanya, siapakah yang lebih berhak bagi kita untuk
berbakti. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, ibumu, ibumu, ibumu lalu
bapakmu. … Intinya, kita selaku umat Islam tidaklah butuh pada peringatan hari
ibu. Karena kita diperintahkan berbakti pada ibu setiap saat, tidak perlu bakti
tersebut ditunjukkan dengan peringatan dan semisal itu. Intinya, peringatan
tersebut tidaklah dituntunkan dalam Islam dan seorang muslim sudah sepantasnya
tidak memperingatinya.” (Youtube: Al Ihtifal bi ‘Iedil Umm)
3- Istri
Punya Kewajiban Bakti pada Suami
Jika yang
diperingati pada peringatan hari ibu adalah membebastugaskankan ibu dari tugas
domestik yang sehari-hari dianggap merupakan kewajibannya, seperti memasak,
merawat anak, dan urusan rumah tangga lainnya, maka ini pun keliru. Karena
berbaktinya istri pada suami dalam mengurus rumah tangga adalah suatu
kewajiban. Bagaimana kewajiban ini dilalaikan hanya karena ada peringatan hari
ibu? Padahal istri yang taat suami adalah wanita yang paling baik.
Dari Abu
Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,
قِيلَ
لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّ النِّسَاءِ خَيْرٌ قَالَ
الَّتِي تَسُرُّهُ إِذَا نَظَرَ وَتُطِيعُهُ إِذَا أَمَرَ وَلَا تُخَالِفُهُ فِي نَفْسِهَا
وَمَالِهَا بِمَا يَكْرَهُ
Pernah
ditanyakan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Siapakah wanita
yang paling baik?” Jawab beliau, “Yaitu yang paling menyenangkan jika dilihat
suaminya, mentaati suami jika diperintah, dan tidak menyelisihi suami pada diri
dan hartanya sehingga membuat suami benci” (HR. An Nasai no. 3231 dan Ahmad 2:
251. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan shahih)
Hanya Allah
yang memberi taufik dan hidayah.
0 komentar:
Post a Comment